Senin, 10 September 2012

Menerbitkan Kumcer Bertema Literasi (melek) Media



9 Oktober 2011 (catatan Pertama)
Note : Cerita Anak ini adalah 'first child' alias karya pertama aku menulis fiksi untuk anak. Yakin aku mules banget waktu bikinnya, persis seperti yang kukatakan pada Massakerah Tosin, rasanya spt waktu manggung ngemsi pertama, grogi, demam panggung, dan nggak karuan rasanya...

Alhamdulillah jadi juga. Dibuat sehabis subuh dan selesai 3 jam kemudian. Waktu yang teramat singkat, oleh sebab panitia Pelatihan Menulis Dongeng/Cerita Anak Berbasis Literasi Media" telah menunggunya. Pelatihan diselenggarakan di sekretariat LESPI di Banyumanik, bersama 9 orang pilihan penulis  cerita senior (yakin aku paling pemula sendiri disana) lainnya, selama 2 hari 7-8 Oktober 2011.Narasumbernya : Ibu Liliek B. Wiratmo (mantan anggota KPID), mas Anto Prabowo (Dir. LesPI), dan Budi Maryono (Lini Kreatif).

Ini sebuah pertaruhan besar buatku, karena pada tanggal yang sama di sekolah juga digelar pelatihan bagus buat guru dengan narasumber langsung dari SoU (School of Universe) Parung-Bogor, ttg Pembelajaran Sekolah Alam. Alhasil aku hanya bisa ikut di hari Minggu, waktu pelatihan yang tersisa. Bahkan  Eskul Jurnal di SPALZA di hari Sabtu juga harus kuwakilkan pada mba Noni untuk mengisinya.

Naskah yang ada di sini adalah naskah setelah direvisi setelah dikritisi oleh para peserta pelatihan : Widyo Babahe Leksono, Sendang Mulyana, Latree Manohara, Wesiati Setyaningsih, Catastrova Prima, Ina Chan, Sigit Wiratmo, Ajang Za, dan Wiwien Wintarto. Di antologi cerpen ini, Pak Budi mengubah judul ceritaku menjadi "Langgar dan layar Datar"

Oya, Literasi Media itu maksudnya agar kita 'melek media'. Bijaksana memperlakukan media dan televisi sebagai alat informasi. Selektif terhadap tayangan, siaran, program dan iklan, berikut bisa mengkritisi terhadap muatan siaran yang memberikan kemudharatan pada generasi muda khususnya anak-anak. Premisnya, bukan konfrontir terhadp TV tapi mengambil sebanyak-banyaknya kemanfaatan Tv dan meninggalkannya/mematikannya bilamana buruk. Analogi yang sama berlaku untuk media 'new era' seperti hape, gadget, internet dan sejenisnya...

***
Berikut ini cerpennya :
LANGGAR DAN TELEVISI LAYAR DATAR

Langit berwarna merah saga. Senja di Kampung Sepur selalu sama. Merah dan dihiasi suara lamat-lamat serak-serak basah dari corong langgar. Semua orang tahu, itu adalah suara Papau, murid kelas Lima, putra bungsu Uwak Haji. Sudah lama ia jadi muadzin. Sejak ia hafal lafadz adzan waktu kelas Satu Sekolah Dasar, sejak itu pula ia disuruh uwaknya mengumandangkan adzan, tapi khusus maghrib saja.

Dimana ada Papau, pasti disitu ada Ucok, Juan, Sugeng, dan Teta. Mereka biasa berlima. Lima Sekawan dari Kampung Sepur, begitu julukannya. Papau tertua diantara mereka, sebab keempat lainnya masih kelas Tiga atau Empat. Juan alias Juwanto dan Sugeng adalah anak pegawai PT. Sepur. Orang tua mereka dari Jawa. Warga di  kampung ini kebanyakan  memang pegawai PT Sepur. Perusahaan yang membuat kereta api untuk wilayah Sumatra bagian Selatan. Karena itulah dia dinamakan Kampung Sepur.

Teta adalah anak seorang guru yang asli Melayu. Sementara Ucok, bapaknya seorang pedagang perantau dari tanah Batak. Papau sendiri, anak orang yang dituakan di Kampung Sepur. Uwak haji, orang-orang memanggilnya. Usianya sepuh dan orang pertama di kampung itu yang pergi haji. Nama asli Papau sebenarnya adalah Nurfakih. Tapi, karena matanya yang sipit, berkacamata,  dan kulitnya yang putih, ia dipanggil Fau-Fau. Lalu di lidah teman-temannya berubah menjadi Papau.

Mudah untuk menemukan Lima Sekawan. Kalau tidak di lapangan bola di sore hari, pastilah mereka sedang berada di langgar di waktu maghrib. Di langgar, snak-anak itu selalu berebut di shaf depan. Harus cepat, karena kalau tidak mereka akan kalah dengan bapak-bapak.

Kata Uwak Haji,  kalau sholatnya di shaf terdepan, nanti nilai pahalanya akan dapat kepala kerbau. Shaf baris kedua, dapat kepala sapi, shaf ketiga kepala kambing, dan shaf keempat cuma kepala ayam. Nah, kalau ada shaf kelima atau terakhir, itu dapatnya kepalan tangan. Karena biasanya shaf terakhir itu diisi orang-orang yang terlambat sholatnya.

***

Langit berwarna merah saga. Senja pun tiba.
 “Ucok… ucok…” teriak Juan dan Sugeng dari luar pagar. Terdengar jawaban dari dalam rumah, suara Ucok, “Yaa…duluan yaa..!”. Juan berpandangan dengan Sugeng. Tidak biasanya begini. Biasanya, kalau mereka panggil, si Ucok langsung menghambur dari dalam rumah sambil mengenakan peci dan mengalungkan sarung ke leher. Lalu, bergegas mereka ke langgar.

Sampai sholat maghrib usai, Ucok tak juga kunjung terlihat batang hidungnya.  Mereka kemudian memutuskan menyambangi rumahnya. Benar saja, Ucok masih berada di rumah. Dia sedang berada di depan TV. TV-nya itu aneh, tidak seperti TV yang ada di rumah mereka. TV Ucok tipis sekali, datar, dan lebar, selebar rentangan tangan mereka.

“Kata papaku, ini namanya Tivi layar datar… 32 inchi.” kata Ucok menerangkan. “Wow… keren banget!”, Teta takjub dengan apa yang dilihatnya. Kartun Naruto yang sedang disiarkan nampak begitu hidup, begitu berwarna, dan suaranya begitu menggelegar.

Maghrib keesokan harinya, Ucok tidak terlihat lagi dilanggar, begitu juga dengan Teta.  Mencuri dengar pembicaraan bapak-bapak, rupanya bapaknya Teta juga baru saja membeli TV layar datar. Teta merengek-rengek ingin punya TV seperti TV-nya Ucok, TV layar datar.

Dan Maghrib kali kesekian, usai Papau mengumandangkan adzan maghrib, ia melihat ke belakang. Tak didapatinya rekan-rekannya itu. Tidak ada lima sekawan. Yang ada hanya dirinya seorang. Padahal biasanya, setelah adzan, ia pasti berebut berdesak-desakan dengan temannya itu. Dorong sana dorong sini sikut sana sikut sini. Dan baru berhenti jika diingatkan bapak-bapak. Tapi kali ini, bagi Papau semuanya terasa begitu sunyi.

***

Malam ini malam Jumat, habis Isya. Pengajian di gelar di langgar. Seluruh warga muslim berkumpul. Sudah jadi kebiasaan warga Kampung Sepur, setiap malam Jumat di awal bulan mereka Yasinan sambil mendengarkan ceramah dari Uwak Haji. Bapak-bapak, ibu-ibu, dan anak-anak, hadir semuanya. Bapak-bapak di dalam langgar, ibu-ibu di terasnya. Dan anak-anak biasanya berlari-larian di halamannya. Banyak doa terpanjatkan, banyak makanan dibagikan.

Tiba-tiba usai pengajian, seisi kampung geger. Sebabnya, TV layar datar di rumah Ucok hilang di curi orang.  Juga TV layar datar di rumah Teta, Juan, dan Sugeng.  Semua TV layar datar di Kampung Sepur, malam ini lenyap tak tentu rimbanya. Pencurinya lihai memanfaatkan kesempatan ketika seluruh warga berkumpul di langgar. Mereka leluasa mengambil TV layar datar karena tidak ada satu orang pun yang berada di rumah.

***

Langit berwarna merah saga. Lamat-lamat suara Papau membelah angkasa. Kali ini suaranya terdengar begitu nyaring dan perkasa. Di dalam langgar, kelima sekawan lengkap sudah. Seperti biasa, mereka berebutan untuk berada di shaf depan. Dorong sana dorong sini, sikut sana sikut sini, dan baru berhenti ketika di ingatkan bapak-bapak.

Usai sholat maghrib, Uwak Haji memanggil mereka semua. Uwak Haji berkata, “uwak lebih suka bapak-bapak kehilangan layar datar, daripada uwak kehilangan kalian di langgar.”

Lima sekawan saling berpandangan. Sejenak kemudian terdengar tawa bersahutan.  Di atas atap langgar, bulan purnama bundar menerangi malam. Di wajahnya, segurat awan melengkung seperti membentuk senyuman.

Semarang, 8 Oktober 2011
:::
 
7 Juli 2012 (Catatan Kedua)
Hanya setahun bersama mereka. Sayang sekali. Sebab justru di bulan-bulan terakhir ini, kami merasakan indahnya hubungan guru-murid, seperti indahnya hubungan anak dan ayahnya. Semua karakter anak-anak, satu demi satu, person by person sudah terpahami, dan mereka juga sebaliknya. Fan-fan, Coree, Salmon, Rafael.. and so on. Demikian nama-nama panggilan kesayangan sebagian diantara mereka kuberikan.

Diantara segudang sweet memories with them. Aku cuma ingin mengabadikan yang satu ini. Yaitu ketika ingin menumbuhkan dan melahirkan semangat membaca dan menulis ke tengah-tengah mereka.

Dalam setahun ini, kepada mereka, aku memang jarang sekali secara verbal menasehati mereka melalui kata-kata lisan, semacam "Ayo menulis!" atau "Ayo membaca!". Aku meyakini keteladanan berkali-kali lipat punya daya lebih kuat untuk menggerakkan ketimbang nasihat.

Karena itu, aku kemudian membeli sebuah novel "Hafalan Sholat Delisa" karya Tere Liye di sebuah toko buku baru di Tembalang, TB Izzati namanya. Buku itu, sengsjs tidak langsung kubaca habis sendiri. Buku itu dibaca secara keras didepan kelas bersama anak-anak. Kadang dalam formasi lingkaran, kadang  bergerombol, kadang saat anak-anak masih dibangkunya.

Karena,  sama-sama belum mengetahui jalan ceritanya, kami memiliki tingkat penasaran yang sama, dan emosi yang genuine saat cerita itu dibacakan. Mereka melihat bagaimana saya berusaha keras menahan emosi terharu, ketika episode ibu guru yang mengorbankan dirinya agar Delisa dapat bertahan hidup, karena sebilah papan yang ada hanya cukup untuk seorang saja.

Ya, buku itu dibacakan. Bukan didongengkan. Karena pesan yang hendak kusampaikan kepada mereka adalah : betapa indahnya membaca. Saya lebih banyak membaca redaksional novel daripada kata-kata saya sendiri. Hanya pada bagian kata-kata sulit atau asing, kata-kata itu kupermudah, buat mereka yang baru duduk di kelas 3 SD.

Dan hampir 3 bulan, kami menamatkan Delisa... lebih tepatnya kusisakan 1 bab. Dengan tujuan agar mereka membaca sendiri kelanjutannya. Pancingan yang berhasil. Sebab Fan-fan dan Ninis kemudian membeli buku itu dan membacanya sendiri di rumah, mski kata orang tua mereka, mereka  belum benar-benar tamat membacanya. Apresasi Delisa ini dpungkasi dengan nonton filmnya. Sayang, filmnya tak seindah bukunya. Namun Positifnya, mereka jadi tahu tidak selalu nonton itu lebih asyik daripada membaca.

Selain Delisa, kami juga menamatkan beragam buku cerita pendek-pendek. Mulai dari kesetiaan Abu Bakar ra. hingga cerita sang Putri Raja. Juga fabel, kisah heroik seekor monyet yang mengalahkan macan dan hewan tangguh lainnya dalam sebuah kompetisi.

Apresiasi kata, diakhiri dengan kubacakan beberapa cerita dalam buku "Pocong Nonton TV" karya 10 penulis Semarang. Cerita yang kubacakan : Langgar dan Layar Datar, Pocong Nonton TV, dan Ronaldo vs Messi. Respon mereka luar biasa.  Empat orang diantara mereka, langsung indent membeli bukunya yang kubandrol Rp 25.000 saja (diskon dari harga aslinya yang 30rb).

Mata mereka berbinar-binar, melihat ada nama guru mereka di buku "Pocong Nonton TV" itu, melihat fotonya,  membaca profil 9 penulis lain, bertanya ini itu, tentang buku itu. Bahkan Ninis langsung bisa menulis cerita kelanjutan Langgar dan Layar Datar versi dirinya. Sebab memang di cerita itu, TV Layar datarnya raib menghilang. Ia sangat penasaran, kemana TV layar datar itu hilang dan siapa yang mencurinya...haha...

Entah ada hubungannya atau tidak, di akhir semester dua, tulisan karya anak-abak menjadi lebih mengalir. Tsabita dengan tulisannya yang berlembar-lembar. Qori yang bisa menulis cerita dalam bahasa Inggris. Salma yang bertransaksi denganku menjual buku lama KKPK-nya untuk didedikasikan ke rumah baca yang sedang kukelola menjadi rumah baca publik.

Ya, sebuah kenangan manis, atau dalam bahasa edukasinya, pengalaman belajar yang terstruktur, telah mereka dapatkan  dalam waktu yang tidaklama. Setahun saja. Sebab sekarang mereka naik kelas 4C, sementara saya masih harus melanjutkan petualangan bersama adik kelas mereka.

Apapun jadinya dirimu, nak... Semoga kau tetap mengapresiasi kata, membaca buku, membaca peradaban, lalu menuliskannya, mewariskannya untuk generasi berikutnya...

(In memoriam with 3C Sekolah Alam Ar-Ridho, Qori dkk, Juni 2012)

0 komentar:

Posting Komentar