Kamis, 01 November 2012

PENDIDIKAN, UNTUK SIAPA KAU DINIKMATI : (Catatan kecil seminar bersama Bang Lendo & Pak Din)

Pak Din & Bang Lendo

“Di tengah silih berganti istilah
terasa berat ganjalan dibenakku
untuk siapa kau dinikmati...”
 
-Puisi “ Panen Raya Generasi Emas”, Budi Wicaksono, FIP UNNES-
***
Sabtu, 6 Oktober 2012
Budi Wicaksono
Penggalan Puisi yang dibacakan oleh Budi Wicaksono itu menjadi awalan Seminar Nasional "Menyongsong Kebangkitan Pendidikan Generasi Emas Indonesia 2045"di FIP UNNES. Kandungan puisi yang bercerita tentang ketimpangan hak menikmati pendidikan itu terasa menusuk hati. Ditambah cara membaca yang pas diiringi lembut musik Kitaro, membuat dua pembicara, yang notabene adalah pegiat pendidikan untuk semua, terdiam menikmati. Seolah flashback mengingat suka duka mereka merintis pendidikan yang penuh liku-liku. Atau merenungi jutaan anak-anak Indonesia yang masih belum beruntung, belum dapat mengecap pendidikan yang layak di tengah gegap gembita pendidikan Indonesia.

Bang Lendo, salah satu pembicara, bahkan tak kuasa menahan satu dua tetes air yang jatuh perlahan. Pelupuk matanya memerah. Pak Din juga diam terpaku. Puisi itu, menurutku, berhasil menjadi bara. Menegaskan maksud panitia mengapa mereka mengundang beliau berdua berbicara. Dan... pembicaraan itu pun dimulai.



PD III FIP UNNES
Setelah disambut oleh PD III FIP UNNES, Bp. Sutaryono,  dan Presiden BEM FIP UNNES, sebagai moderator saya mengenalkan Bang Lendo dan Pak Din. Kata Nhana, panitia seminar, 200an audiens kebanyakan mahasiswa baru sehingga belum mengenal siapa itu Lendo Novo dan Ahmad Bahruddin. Karena itu, lebih dari sekedar membaca CV, saya menceritakan sosok Bang lendo dan Pak Din lebih dalam. Introduksi yang agak dalam ini menjadi penting untuk menjembatani antara trust audiens dengan paparan pembicara yang sangat paradigmatik : konsepsi, cara pandang , dan filosofis pendidikan. Terlebih keduanya lahir dari rahim dunia pendidikan alternatif. Bang lendo dengan Sekolah Alamnya dan Pak Din dengan Kelompok belajar Qaryah Thayyibahnya.  Keduanya, membicarakan sesuatu ‘yang tidak biasa’ bahkan cenderung ‘gila’ dari yang biasa mereka dengar di bangku perkuliahan.

Lendo Novo. Panggilan akrabnya Bang Lendo. Penggagas sekolah dengan konsep Sekolah Alam. Alumni Perminyakan ITB kelahiran Jakarta, 6 November 1964, ini menemukan titik balik hidup saat berada di balik jeruji penjara karena pengkritisannya terhadap Orde Baru. Lepas dari penjara, Bang Lendo mendirikan taman kanak-kanak (TK) Salman.TK ini berbasis alam dan tidak ada pemisahan antara ilmu agama dan ilmu umum. TK model inilah yang kelak menjadi cikal bakal konsep Sekolah Islam Terpadu (SIT).  Tahun 1998, Bang lendo mendirikan Sekolah Alam Ciganjur. Tahun 2000 mengawal Sekolah Alam Semarang. Kemudian mendirikan School of Universe di parung, Bogor. Yang dikembangkannya hingga ke jenjang sekolah menengah dan perguruan tinggi dengan berbasis entrepreunership. Saat ini, sudah ratusan sekolah yang mengadopsi konsep sekolah alam. Tahun 2011 lalu sekolah-sekolah ini telah menggelar Jambore Sekolah Alam Nusantara di Lembang, Bandung. Atas kiprahnya mengkampanye dan membentuk karakter penyelamatan lingkungan melalui pendidikan, Bang Lendo meraih banyak penghargaan. Diantaranya dari Rekor MURI dan Ashoka Award, sebuah lembaga humanitarian USA. 

Ahmad Bahruddin. Biasa dipanggil Pak Din oleh para pegiat komunitas belajar Qaryah Thayyibah (KBQT). KBQT terletak di sebuah desa nan sejuk, desa Kalibening kecamatan Tingkir Kota Salatiga. Pak Din memulai KBQT pada tahun 2003. Nama Qaryah Thayyibah sendiri diambil dari nama paguyuban petani Qaryah Thayyibah, dimana Pak Din menjadi salah satu pengurusnya. Pada mulanya, KBQT melakukan aktivitas belajar di garasi, dengan siswa belajar angkatan pertama adalah anak-anak petani dari paguyuban petani. Biaya sekolah yang mahal, dan jarak tempuh yang jauh pada mulanya menjadi alasan lahirnya sekolah alternatif ini. Lalu berkembang lebih esensi dengan argumen yang lebih kuat yaitu kemerdekaan metode belajar. Peraih Syafii Ma’arij Award tahun 2012 ini mengatakan bahwa sekarang sudah ada sekitar duapuluhan titik komunitas belajar serupa Qaryah Thayyibah di Jawa Tengah.

Mencari Ide
Saat sarapan pagi bersama pembicara jelang tampil, Bang Lendo mengusulkan agar sessi diawali dengan mendengar dan mencari tahu ide/gagasan/kritik/unueg-uneg dari peserta tentang pendidikan. Kedua pembicara nampaknya punya tipe yang serupa, yaitu tidak mau terlalu menggurui, bahkan keduanya ‘cuma’ menyiapkanmateri berupa  video dokumenter dan merencanakan tidak terlalu banyak bicara. Mereka justru ingin tahu apa yang ada di benak generasi muda khususnya calon guru tentang pendidikan Indonesia saat ini.

Maka, ide itu pun dijalankan. Ternyata, saat penggalian ide, tidak banyak peserta yang mengacungkan jari. 
Sebagai trigger, kusampaikan bahwa buku Tetsuko Kuroyanagi “Toto Chan : Gadis Cilik di Jendela” adalah salah satu buku yang menginspirasi guru-guru Sekolah Alam dan pendidikan alternatif.  Rupanya, tidak ada satupun peserta yang pernah membaca buku itu saat kutanyakan siapa yang pernah membaca buku tersebut. Termasuk juga tulisan bertema pendidikan membebaskan karya Paolo Freire yang menjadi salah satu insiprasi pendidikan alternatif Qaryah Thayyibah. Barulah ketika, pertanyaan diubah menjadi “Seperti apa sekolah dan guru ideal itu? Dan mengapa Anda ingin menjadi guru ?”, seorang mahasiswi maju dan dengan lancar memaparkan gagasan-gagasannya. Ide juga diberikan oleh Presiden BEM FIP UNNES yang memberi pandangan  tentang kondisi pendidikan nasional. Kedua pembicara , dengan tekun mendengarkan semua paparan dan sesekali menulis di buku catatan.

Sessi Bang Lendo
Audience seminar
Bang Lendo giliran pertama menyampaikan materi. Beliau mengawali dengan memutar film “Sobat Bumi : Satu Bumi Satu Dunia” . Film ini, keren banget. Animasi.  Gambar coretan tangan yang dipercepat (stop motion) dan menggunakan narasi berbahasa Inggris dengan soundtrack yang dimainkan tim Rombenk perkusi dari School of Universe. Bercerita tentang kekayaan nusantara dan kearifan lokal dalam menjaga sumber daya alam yanga ada. Bang Lendo, menegaskan, Indonesia adalah negara kaya SDA dan kaya nilai-nilai. Tidak perlu silau dan selalu terpesona dengan apa yang ditawarkan oleh orang luar khususnya barat, seolah-olah kebenaran hanya berasal dari sana.  

Bang Lendo juga menganalisis kegagalan pendidikan Indoensia melahirkan generasi terbaik. Salah satunya karena keseragaman yang dipaksakan. Keseragaman yang dimaksud bang Lendo adalah metode yang sama dan usang diterapkan kepada siswa yang beragam, terutama kecerdasan yang given, yang menuntut keragaman metode. Sehingga hanya menganakemaskan siswa yang memiliki daya memorize yang baik. Dan  pendidikan karakter atau akhlaq yang kehilangan gigi, karena tidak menggunakan metode terbaik, yaitu keteladanan.  Bang Lendo pun menyebut beberapa contoh hilangnya keteladanan guru dan sekolah dihadapan murid-muridnya, sehingga melahirkan generasi yang korup.

Sessi Pak Din
Pak Din juga mengawali sessi dengan memutar video liputan terbaru yang dibuat oleh TVRI tentang Qaryah Thayyibah.  Sebuah dokumenter singkat namun mewakili segalanya. Pemberdayaan pedesaan, kekuatan komunitas, geliat pemuda, dan… semangat! Ya, semangat untuk berubah menjadi lebih baik, di tanah kelahirannya sendiri.  Dalam liputan itu, terlihat anak-anak KBQT terjun ke sawah membuat pematang baru.  Betul-betul ide brilian. Anak muda dan sawah? Pemandangan yang jarang bisa ditemukan.   Scene berikutnya, menampilkan sosok muda salah satu warga belajar, ia penulis, energik, dan berprestasi. Di hadapannya bertumpuk buku yang telah ditulisnya. “Itu DTK!” kata Pak Din saat kamera selintas memperlihatkan covernya.  Yup, DTK alias Dialog Tanpa Kata, buku yang ditulis hasil kolaborasi ku dengan penulis itu. Hehe, dia tentu saja… Fina Af’idatussofa.    Well, fina kelihatan begitu berbeda jika dibanding saat aku bertemu terakhir kalinya sekitar 3-4 tahun lalu saat ia masih SMA. ^_^

Pak Din kemudian memaparkan secara singkat hal-ahal yang mendasari lahirnya KBQT. “Kita boleh saja putus sekolah, tapi tidak untuk putus belajar”, begitu salah satu kalimat beliau dihadapan para mahasiswa. Sekolah dalam perspektif Pak Din lebih luas dari keberadaan sekolah pada umumnya.  Di KBQT, para guru yang disebut pendamping , juga turut belajar, berdiskusi, mencari solusi dari permasalahan-permasalahan yang ada di sekitar KBQT. Kurikulum KBQT adalah KBK alias Kurikulum Berbasis Kebutuhan yang bersifat local living community base. “Orientasi keberhasilan belajar di KBQT adalah pada produktivitas berkarya, bukan nilai dalam angka-angka yang meredusir banyak pengalaman belajar” ujarnya lebih jauh.

Sessi Diskusi
Sessi diskusi yang ramai. Jari-jari banyak teracungkan.  Penaku mencatat beberapa pertanyaan yang terlontarkan. Diantaranya : (1) Apa kekurangan/kelemahan pendidikan ala  SA dan KBQT ? dan (2) Bagaimana cara mengubah paradigma masyarakat seputar  pendidikan? (Ahmad Rifa’i). (3)Bagaimana kurikulum di SA dan KBQT ?(Maya). (4) Apa kendala/hambatan membangun SA dan KBQT ? dan (5) Bagaimana tips menjadi guru yang disayangi murid-murid? (Ummu).  Lalu, (6) Apa karakter asli pendidikan SA dan KBQT? (Nurjati). (7) Bagaimana dengan keseimbangan gaya belajar KBQT? Dan (8) apakah pembelajaran di SA bisa diterapkan di anak berkebutuhan khusus? (Siska). Ada juga pertanyaan (9) Bagaimana kualitas guru SA dan KBQT?  (10) Bagaimana dengan potensi ‘liar’ murid-murid SA. Terakhir, (11) Bagaimana dengan akreditasi SA dan KBQT?

Pertanyaan-pertanyaan itu dijawab tuntas oleh Bang Lendo dan Pak Din. Secara singkat, jawaban beliau-beliau yang sempat saya catat adalah, bahwa guru yang baik adalah guru yang mampu memfasilitasi kesukaan/minat-bakat/passion muridnya.  Selama kita mampu berkomunikasi dengan bahasa ibu atau bahasa kasih sayang, maka akan melahirkan murid-murid terbaik. Untuk SA, misi pendidikannya sama dengan misi penciptaan manusia, yaitu menjadi khalifah (pemimpin) yang memakmurkan bumi. Karena itu 80% isinya adalah pembentukan akhlak, sisanya ada di pembangunan logika, leadership, dan bisnis/kewirausahaan. Yang terakhir ini, metode terbaiknya adalah learning from the maestro. Alias belajar dari ahlinya langsung.
Sementara, pendidikan terbaik ditentukan oleh 3 hal; kualitas guru yang oke, metode & cara yang tepat, dan ketersediaan buku atau literature sebagai referensi.  Lulusan terbaik adalah mereka yang memiliki akhlak terbaik. Pak Din menambhakan, bahwa guru adalah orang yang mau belajar. Untuk bisa menjadi pendamping belajar, ia harus punya semangat belajar.  Untuk meraih lulusan terbaik, anak harus dibiasakan untuk memiliki ide/gagasan dan produktif.  Dia juga bermanfaat bagi sesama. 

Sessi ditutup oleh closing words dari kedua pembicara tentang pendidikan masa depan dan pemberian doorprize kepada dua orang yang masing-masing dipilih oleh Bang lendo dan Pak Din. Menurut Bang Lendo, Negara yang member insentif kepada pembangunan hijau maka pertumbuhannya akan menjadi luar biasa, seraya memuji UNNES yang telah mengedepankan konservasi sebagai tagline kampusnya. 

Sumber Inspirasi
Menjadi moderator beliau berdua adalah moment special dan kenangan indah yang  akan selalu terkenang. Terutama ketika saya rebutan buku dengan Pak Din atas buku yang dibawa Bang Lendo. Buku putih tentang Sekolah Alam yang baru saja terbit karya Bu Septri, guru pertama Sekolah Alam. Saya sudah membookingnya sejak awal, tapi apa daya Pak Din punya otoriti lebih kuat. Jadilah buku itu jatuh ketangan Pak Din yang juga penggila buku pendidikan. Nasib dah… ^_^ Tapi, saya ikhlas kok, hehe…

Mereka berdua adalah inspirasi besar saya dalam hal pendidikan alternative dan membebaskan. Keduanya low profil, punya track perjalanan yang panjang di dunia pendidikan. Renungan mereka tak berhenti sebatas wacana tetapi menjelma menjadi nyata.  Semoga Allah selalu memudahkan langkah beliau berdua, mempersembahkan pendidikan terbaik untuk semua.  

Note : thanks to panitia, BEM FIP UNNES, dan al-akh Saeful Agus + Nhana,  untuk mempertemukan saya dan beliau berdua dalam satu meja. (Seluruh foto taken by : RasihM. Hilmy-KBQT)

0 komentar:

Posting Komentar